Jumat, 19 Juni 2015

Kebudayaan Kepulauan Mentawai Reviewed by Esemka Date 6/19/2015 09:41:00 AM

Kebudayaan Kepulauan Mentawai

Kepulauan Mentawai yang terletak sekitar 100 km disebelah barat pantai pulau Sumatera, terdiri dari 40 pulau besar dan kecil. Diantaranya ada empat pulau besar yang didiami manusia, Siberut di utara sebagai pulau terbesar, Sipora ditengah, Pagai Utara dan Pagai Selatan di bagian selatan. Semuanya terletak pada 1000 Bujur Timur Greenwich dan 50 Lintang Selatan di bawah khatulistiwa. Luasnya 6.700 km2.
Di kepulauan mentawai tidak ada gunung, yang ada hanya perbukitan yang tingginya tidak melebihi 500 meter. Umumnya bertanah subur, datar serta berawa-rawa. Mentawai juga terkenal dengan hutan-hutannya yang masih perawan (apalagi bagi para pengusaha-pengusaha kayu). Di Mentawai banyak terdapat sungai-sungai kecil, dan sarana perhubungan yang paling umum digunakan adalah melalui sungai. Dengan mengarungi sungai dengan perahu – perahu yang dibuat sesuai dengan kebutuhan mereka.


Latar belakang sejarah dan kebudayaan suku Mentawai

1. Latar belakang sejarah
Sejarah tentang asal usul suku Mentawai asli secara jelas belum dapat diperoleh data yang jelas. Meskipun dengan demikian dapat diperkirakan bahwa penduduk asli kepulauan Mentawai ini berasal dari bangsa Melayu Tua (Proto Melayu). Sihombing(1979:17) mengemukakan bahwa suku bangsa Mentawai adalah termasuk ke dalam lingkungan bangsa Polynesia dan dapat dipersamakan dengan bangsa Hawai, Marquesas di Lautan Pasifik, dengan mengemukakan cirri-ciri dan tipe orang-orang Mentawai sebagai perbandingan. Sumber-sumber lain mengatakan bahwa suku bangsa Mentawai adalah imigran dari daratan Sumatra. Pada abad 17 diantara pulau-pulau yang ada di kepulauan Mentawai hanya Siberut satu satunya pulau yang sudah berpenghuni, sedangkan pulau-pulau lainnya masih kosong. Di pulau Siberut memang tampak dan jelas pengaruh Nias. Namun dikalangan orang Mentawai sendiri terdapat legenda mengenai asal-usul dari suku bangsa ini.
Dahulu aada seorang laki-laki bernama Ama Tawe (bapak si Tawe), bermaksud mencari ikan ke Pulau Nias. Tetapi malang perahu Ama Tawe dipukul badai, maka terdamparlah Ama Tawe di suatu pantai(sekarang disebut pulau siberut). Lalu Ama Tawe berjalan, sampai ke muara sungai(sekarang bernama Simatulu, Siberut tengah bagian barat). Ama Tawe mendapati pohon sagu yang banyak dan pohon tales yang subur sekali. Lalu, Ama Tawe membuat perahu untuk menjemput anak dan istrinya di Pulau Nias. Namun ama Tawe tidak saja hanya mengajak anak dan istrinya tapi juga mmengajak beberapa orang dari kampungnya untuk ikut bersamanya. Orang orang menganggap bahwa pulau yang ditemukan Ama Tawe adalah pulaunya, maka orang orang kampong menyebut pulau itu sebagai pulau Ama Tawe atau biasa diucap Amantawe yang akhirnya menjadi “Mentawai”.
Kesulitan untuk mengetahui asal-usul dan sejarah suku Mentawai disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama adalah karena mereka tidak mengenal tulisan, kedua adalah kebudayaan material mereka sangat miskin, karena selama berabad abad tidak dapat pengaruh dari kebudayaan Islam, Hindu, ataupun Barat.


2. Latar belakang kebudayaan
Kebudayaan suku Mentawai sangat jauh ketinggalan dari suku lainnya di Indonesia. Mereka tidak mengenal menenun, membuat barang dari logam, makan sirih, meminum tuak, membuat tembikar, bertanam padi dan sebagainya. Kebudayaan material mentawai dapat dikatakan kebudayaan kayu. Mereka tidak membuat benda benda kebutuhan dari logam ataupun batu, sebagai umumnya manusia pada zaman batu membuat alat-alat keperluan dari batu, misalnya kapak, alat pengolah tanah, patung dan sebagainya.
Oleh kerena itu di Mentawai tidak terdapat zaman batu, hal ini juga adalah suatu sebab sulitnya untuk mengetahui asal-usul orang mentawai. Biasanya para ahli pra sejarah untuk mengetahaui latar belakang sejarah maupun latar belakang kebudayaan dari suku bangsa adalah dengan melakukan penggalian dan analisa benda-bendanya pra sejarah yang mereka temukan.
Kebudayaan suku Mentawai boleh dikatakan kebudayaan kayu dan kebudayaan daun. Orang mentawai membuat benda-benda kebutuhan sehari-hari adalah dari kayu dan daun.
Pada umumnya mereka masih menggunakan alat yang sederhana yang terbuat dari kayu dan daun-daunan. Semua alat-alat rumah tangga terbuat dari bahan kayu dan daun yang terdapat disekitar tempat tinggal mereka. Diantara alat-alat tersebut : Lenggono (semacam alat penangkap ikan), balukbuk (keranjang), safa(keranjang dari rotan), jojoi (juga alat penangkap ikan), rarahan (alat untuk menjalah ikan), balolok (tikar), kambuik (tempat menyimpan sesuatu), dan lain-lain.
Daerah kepulauan Mentawai yang terdiri dari empat buah pulau yang besar, juga terdiri atas empat kecamatan yaiti kecamatan Siberut Utara dengan Ibu Kecamatan Muara Sikabaluan, Kecamatan Siberu Selatan, dengan Ibu Kecamatan Muara Siberut, kecamatan Sipora, dengan Ibu Kecamatan Sioban dan Pagai Utara/Selatan dengan Ibu kecamatan Sikakap.
Beberapa kebiasaan dari penduduk asli lebih cenderung untuk tidak dimasuki oleh unsur-unsur dari luar. Berkat usaha dari pemerintah dengan mengadakan satu nadan Otorita Proyek Khusus Kepulauan Mengtawai, telah diatasi dengan penuh pengertian dan pengarahan secara intensif. Dengan adanya BOPKOM maka selutuh kekuasaan, fungsi dan kewenangan kepulauan Mentawai di bawah BOPKOM. Dengan penduduk yang berjumlah kurang lebih 38.000 jiwa, rata-rata 5 jiwa/km2 yang tersebut di keempat kepulauan itu yang sangat ketinggalan disegala bidang. Ketinggalan disegala bidang pendidikan, kesehatan pendapatan dan bidang ekonomi.
Berhubung bidang pendidikan sangat ketinggalan maka dewasa ini kepulauan Mentawai dijadikan daerah penilik sekolah negri. Namun sangat disayangkan Penilik Sekolah ini masih berkedudukan di Padang dan bukan di Mentawai. Dengan jauhnya penilik sekolah ini tentu saja penilikan langsung berupa bimbingan, pengawasan, baik terhadap guru-guru maupun murid-murid amat kurang sekali.
Kesulitan dalam pendidikan, berhuubngan juga dengan komunikasi baik darat maupun laut. Jalan-jalan darat di Mentawai boleh dikatakan tidak ada. Satu kampung dengan kampung lain dihubungkan melalui sungai dan laut. Sungai dan laut satu-satunya perhubungan di kepulauan Mentawai yaitu dengan menggunakan sampan. Otorita Proyek Khusus Kepulauan Mentawai sedang mengusahakan penggunaan di sektor perhubungan ini.


3. Masyarakat Mentawai
Sebagian besar penghuni pulau-pulau di kabupaten Kepulauan Mentawai berasal dari pulau Siberut. Masyarakat suku Mentawai secara fisik memiliki kebudayaan agak kuno yaitu zaman neolitikum dimana pada masyarakat ini tidak mengenal akan teknologi pengerjaan logam, begitu pula bercocok tanam maupun seni tenun.
Masyarakat Mentawai menganut sistem Patrilineal yang disebut dengan Uma, yang mempunyai arti tempat tinggal. Uma didiami oleh beberapa orang yang masih berhubungan satu sama lain dalam hal keturunan, menjadi pusat kehidupan adat, yang memperhitungkan dan mempersatukan. Meskipun mereka mendirikan rumah lain di tempat yang jauh, namun komunikasi dengan Uma tetap ada, sebab Uma merupakan rumah induk. Di Mentawai terdapat tiga macam rumah, yaitu:

a.      Uma (Rumah Utama)
Rumah besar yang menjadi rumah induk tempat penginapan bersama serta tempat menyimpan warisan pusaka. Juga menjadi tempat suci untuk persembahan, penyimpanan tengkorak binatang buruan. Setiap kampung mempunyai Uma sendiri. Kepala Uma disebut Rimata, perlambang pemimpin kehormatan, orang yang lebih arif mengenai hal-hal yang penting buat Uma, seseorang yang berbakat pemimpin. Uma adalah rumah besar yang berfungsi sebagai balai pertemuan semua kerabat dan upacara-upacara bersama bagi semua anggotanya.

b.      Lalep (Rumah menengah dari UMA)
Tempat tinggal suami istri yang pernikahannya sudah dianggap sah secara adat. Biasanya lalep terletak di dalam Uma.

c.       Rusuk (Pondok Satu Kamar)
Suatu pemondokan khusus, tempat penginapan bagi anak-anak muda, para janda dan mereka yang diusir dari kampung.
Makanan pokok orang Mentawai yang tinggal di pulau Pagai adalah keladi, sedangkan di Siberut sagu dan pisang. Umumnya orang Mentawai doyan memakan daging monyet, rusa, babi dan ayam. Pemotongan babi biasanya dilakukan pada waktu pesta (punen) besar, sebagai tanda pertalian hubungan manusia dengan alam roh. Pakaian laki-laki mentawai adalah kabit (cawat). Sedangkan yang perempuan memakai rok yang terbuat dari daun atau kulit kayu. Sisa dari keratan-keratan pakaian biasanya diambil sebagai hiasan. Gigi sengaja diasah dan diruncing supaya tajam. Seiring dengan perkembangan, sekarang masyarakat Mentawai sudah mengenal pakaian dari kain. Walaupun begitu, biasanya Kerei (dukun) jarang atau tidak pernah memakai pakaian dari kain.




B. Sistem kepercayaan suku Mentawai
Mayoritas orang Mentawai memeluk agama Katolik dan sebagian beragama Protestan, Islam atau Bahai. Walaupun demikian sebagian besar orang Mentawai tetap memegang teguh religinya yang asli, ialah Arat Bulungan. Arat berarti “adat” dan bulungan berasal dari kata bulu (= daun).
Dalam religinya, bukan hanya manusia yang mempunyai jiwa, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan, batu, air terjun sampai pelangi, dan juga kerangka suatu benda. Selain dari jiwa, ada berbagai macam ruh yang menempati seluruh alam semesta, yakni di laut, udara, dan hutan belantara.
Menurut keyakinan orang Mentawai, jiwa manusia atau magere terletak di ubun-ubun kapala. Jiwa itu suka berpetualang di luar jasmani saat orangnya tidur, yang merupakan mimpinya.
Bila jiwa keluar dari tubuh bisa terjadi bahwa jiwa itu bertemu dengan ruh jahat. Akibatnya tubuh akan sakit, dan bila jiwa dalam keadaan itu mencari perlindungan pada ruh nenek-moyang, maka tubuh mungkin akan meninggal. Jiwa tak akan kembali lagi ke tubuh dan menjadi ketsat (ruh).
Tubuh orang yang telah ditinggalkan magere atau jiwanya menjadi ketsat atau ruh, atau dengan lain kata, orang tersebut telah meninggal. Tubuh yang ditinggalkan berwujud daging dan tulang itu dianggap masih ada jiwanya, yang disebut pitok. Pitok inilah yang amat ditakuti oleh manusia, karena substansi itu akan berupaya mencari tubuh manusia lain, agar bisa tetap berada di dunia yang fana ini. Untuk menghindarinya pitok ini diusir dari rumah orang yang meninggal maupun dari uma dengan upacara karena di tempat itu pitok itu juga bisa bersembunyi mencari mangsanya.
Seperti dalam banyak sistem religi di dunia, religi asli orang Mentawai juga mempunyai masa nyepi, atau menghentikan aktivitas hidup untuk sementara, yatu masa lia dan punen yang dianggap suci. Lia adalah menghentikan aktivitas hidup dalam rangka keluarga inti, dan biasanya menyangkut masa-masa yang penting sepanjang hidup, seperti membangun lalep, atau rumah tangga inti, kelahiran, perkawinan, masa ada anggota keluarga sakit, kematian, dan membuat perahu. Punen adalah nyepi dalam rangka masyarakat dewa sebagai keseluruhan dan biasanya menyangkut masa sebelum dan sesudah membangun uma, kecelakaan, saat berjangkitnya wabah penyakit menular, dan pada waktu terjadi kecelakaan atau karena pembunuhan, yang mengakibatkan banyak orang mati.
Apabila anggota suatu keluarga menjalankan lia atau punen, mereka tak boleh bekerja. Bahkan seperti telah tersebut di atas, kalau pada masa lia atau punen terjadi kematian, jenazah tak boleh diurus dulu tetapi dibiarkan saja dan hanya ditutup daun.
Walaupun semua aktivitas berhenti, untuk waktu yang lama kadang-kadang sampai berminggu-minggu, orang diperbolehkan makan dan minum seperti biasa. Karena itu lia dan punen itu tidak merupakan puasa.
Punen yang berlangsung lama adalah punen untuk pengukuhan rimata dan sikere, yaitu pemimpin dan dukun. Upacara yang menyertai punen bisa berlangsung sekitar dua bulan.
Erat kaitannya dengan konsep lia dan punen adalah konsep pantangan atau keikei, yaitu melanggar pantangan, terutama dalam masa-masa yang suci (atau dalam rangka upacara-upacara yang suci) dan pelanggarannya akan dihukum dengan hukuman gaib. Hukuman gaib itu harus dihilangkan dengan denda-adat atau tulon tersebut di atas.
Untuk menempatkan benda-benda baru ke dalam uma, harus diadakan upacara terlebih dahulu, dan benda baru tersebut harus diletakkan di samping benda yang lama. Tujuannya adalah agar supaya bajou dari benda yang lama tidak marah dan agar “mereka” dapat berkenalan. Tanpa upacara akan terjadi sesuatu di dalam uma yang bersangkutan. Begitu juga dengan kedatangan orang dari kelompok kerabat lain ke dalam uma, seperti misalnya dalam perkawinan, disertai upacara yang gunanya untuk menetralisir pengaruh bajou. Bajou dapat membawa penyakit panas dan demam, karena itu benda-benda yang ada di dalam uma harus diperciki air yang bermantera.
Serupa dengan di semua sistem kepercayaan atau religi lokal di dunia, arat sabulungan orang Mentawai juga mengenal ilmu gaib yang berdasarkan dua keyakinan, ialah (1) keyakinan akan adanya hubungan gaib antara hal-hal yang walaupun berbeda fungsinya, mirip wujud, warna, sebutan atau bunyinya; dan (2) keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang sakti tetapi tak berkemauan atau bajou dalam alam sekitar manusia.
Baik segala macam ilmu gaib produktif yang merupakan bagian dari upacara kesuburan tanah misalnya, atau ilmu gaib protektif yang juga sangat penting dalam ilmu obat-obatan dan penyembuhan penyakit secara tradisional, maupun segala macam ilmu gaib destruktif yang antara lain dipergunakan dalam ilmu sihir dan guna-guna, semuanya bisa dikembalikan kepada kedua keyakinan tersebut di atas. Ilmu gaib produktif dan protektif yang biasanya merupakan ilmu gaib putih atau baik, dilakukan oleh sikerei, sedang ilmu gaib destruktif yang biasanya merupakan ilmu gaib hitam atau jahat dilakukan oleh pananae. Seperti juga dalam banyak sistem kepercayaan dan religi lokal di dunia, kekuatan sakti yang tak berkemauan (bajou), dalam sistem kepercayaan orang Mentawai juga dianggap beradal dalam segala hal yang luar biasa dan dalam benda-benda keramat, serta dalam uma (sebagai rumah umum yang keramat). Benda-benda itu, yang seperti telah tersebut di atas adalah amat simagere, batu kerebau buluat, orat simagere, dan tudukut, serta dapat ditambah lagi dengan sejumlah daun-daunan dan akar-akar kering dari tumbuh-tumbuhan berkhasiat yang disebut bakkat katsaila, berfungsi sebagai jimat (tae) penolak bahaya gaib atau sebagai benda untuk mengundang ruh yang baik.



C. Sistem perkawinan suku Mentawai
Di Siberut, pernikahan resmi memerlukan kesiapan pihak lelaki. Lelaki dimintai pertanggung-jawaban yang cukup berat untuk kelangsungan hidup calon istrinya. Pihak lelaki mesti membayar mahar yang bernilai tinggi. Hubungan muda-mudi sebagai pasangan rumah tangga dapat diterima secara sosial dalam “hubungan rusuk”, yaitu suatu perkawinan yang belum diresmikan adat. Kedua muda-mudi pasangan rumah tangga harus mendirikan rumah secara sederhana, sementara si suami berusaha mencari nafkah yang lebih baik dan kesiapan materi yang lebih memadai.
Jika pihak laki-laki dipandang telah cukup mampu bertanggung-jawab secara materi dengan kepemilikan atas ladang, peralatan rumah tangga, pohon sagu dan babi, maka perkawinan bisa langsung diresmikan secara adat. Sejak itu mereka diakui sebagai pasangan yang “dewasa” secara sosial. Ini adalah tanda bahwa pasangan muda tersebut masuk dalam sistem sosial, masuk ke dalam kebersamaan adat. Hubungan ini disebut hubungan lalep. Mereka bisa tinggal di uma ayah si suami atau bila dia cukup mampu mendirikan rumah sendiri yang disebut rumah lalep. Seseorang akan menjadi terhormat kedudukannya jika dia telah tinggal di rumah lalep, yang berarti pernikahannya telah diresmikan adat.
Tujuan pernikahan di Mentawai yaitu untuk melanjutkan keturunan guna menghasilkan anak yang dapat membantu mereka untuk menyambung hidup seperti di lading bagi ayah, dan menangkap ikan bagi sang ibu. Perkawinan suku Mentawai pada umumnya adalah monogami dengan system patrilial, sedangkan perceraian sangat dilarang di suku Mentawai.
Dengan demikian di Siberut dikenal tiga jenis rumah. Rusuk: rumah tinggal sementara dari pasangan muda. Uma, didiami oleh beberapa keluarga dalam satu suku; pasangan yang pernikahannya telah diresmikan bisa bergabung dan tinggal di uma ayah dari sang suami. Lalep: rumah individual yang didirikan oleh lelaki kepala rumah tangga bila uma orang tuanya penuh. Sebuah uma bisa didirikan bersama-sama oleh beberapa keluarga. Jika rumah rusuk merupakan rumah sementara dari satu pasangan muda yang dibanguna secara sederhana, maka lalep dibangun lebih baik dan bersifat permanen. Di masa lalu keluarga dari beberapa lalep masih berusaha untuk mendirikan sebuah uma baru. Hal itu tampaknya sudah jarang dilakukan saat ini.
Agama asli orang Mentawai adalah Sabulungan yang percaya bahwa segala sesuatu mempunyai roh masing-masing yang sama sekali terpisah dari raganya dan bebas berkeliaran di alam luas. Kepercayaan asli ini mulai berangsur-angsur digantikan oleh agama Islam dan Kristen. Walau demikian masih ada juga yang tetap menganut agama asli atau setidak-tidaknya masih mempercayai tentang adanya roh-roh gaib. Hal ini tercermin dalam pola kegiatan mereka sehari-hari yang erat berhubungan dengan punen (pesta-pesta suci) maupun syarat-syarat persembahan yang harus dilakukan sebelum mendirikan rumah, berburu, membuka lading dan sebagainy. Resettlement itu sendiri adalah melestarikan konsep lalep & uma.
Pola budaya mereka mulai berubah, apalagi dengan masuknya intervensi budaya dari luar yang membuat pola hidup komunal mereka mulai goyah. Adanya program “resettlement” yang dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1980-an, dengan rumah standar beratap seng untuk dihuni satu keluarga batih, ikut memudarkan pola hidup bersama di dalam uma. Itulah salah satu sebab kenapa uma semakin sulit ditemukan di Siberut Utara. Lalep yang individualistik kini mulai menggantikan uma.. Inilah yang perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh. Jika tidak, maka ukuran-ukuran kehidupan kota yang diatasnamakan dengan kebaikan atau perbaikan dapat saja menjadi penggusur ampuh sesuatu yang di dalam kehidupan masyarakat kota justru diperlukan: nilai-nilai kebersamaan. Nilai-nilai kebersamaan itu sudah lama tertanam di bumi Siberut dan bahkan sudah berbuah suatu budaya berhuni: uma.
Usaha pemerintah daerah untuk menarik pemukiman yang tersebar di Pulau Siberut ke pinggir pantai, untuk memudahkan membinanya juga ikut menggoyahkan mereka. Dalam suasana semacam itu, jelaslah bahwa lalep mendapat persemaian yang tepat. Rumah yang dihuni oleh keluarga batih semacam ini nampaknya memang dikehendaki oleh pemerintah, mungkin karena dianggap lebih baik pengudaraannya disbanding uma yang memiliki jurai atap yang menahan sinar masuk.
Bentuk lalep sendiri adalah persegi empat, hampir bujur sangkar dengan ukuran sekitar panjang 6 m dan lebar 5 m. pembagian ruangannya cukup sederhana, di bagian depan adalah serambi terbuka yang merupakan tempat untuk menerima tamu. Sedang pada bagian dalam digunakan untuk ruang tidur keluarga. Di ruangan ini terdapat pula perapian yang digunakan untuk memasak suatu keadaan yang wajar mengingat kegiatan siang hari bagi laki-laki dihabiskan di lading atau di hutan, sementara istrinya bertugas di kebun halaman dan memasak.
Perkembangan kemudian membuat masyarakat Siberut mulai mengenal dapur individual untuk kegiatan memasak. Lalep muali dipasangi jendela sehingga venilasi menjadi lebih baik. Dibalik kenyataan ini, terjadilah hal-hal yang cukup menyedihkan yaitu keinginan untuk mendirikan uma semakin pupus. Mungkin karena untuk mendirikan uma dibutuhkan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang cukup lama, sementara ikatan kekeluargaan berangsur-angsur longgar akibat pengaruh ekonomi uang yang diperkenalkan oleh pedagang dari ‘tanah tepi’ (Sumatera). Kenyataan semacam ini dapat membuat Siberut tak lagi mempunyai uma di awal abad ini. Hilangnya uma bukanlah hilangnya satu artefak fisik saja. Tetapi dapat menjadi lebih fatal: hilangnya suatu pandangan hidup yang mewujudkannya, yaitu kebersamaan.
Perubahan yang mencolok di Mentawai terjadi pada aspek kehidupan sosial budayanya, sedangkan aspek perekonomian, pendidikan, kesehatan serta jumlah penduduk relatif stabil, tidak jauh beda dengan kondisi 10 atau 15 tahun silam. Tato yang dahulu berfungsi sebagai semacam kartu pengenal, kini mulai ditinggalkan. Saat ini tato hanya dapat dijumpai pada penduduk asli yang berusia di atas 40 tahun (hanya berjumlah sekitar 5 %). Kebiasaan yang masih melekat adalah kebiasaan kawin muda, dikarenakan agama mayoritas penduduk Mentawai saat ini adalah Katolik dan Kristen, maka nama baptis hampir merata di kalangan muda. Penggunaan pakaian tradisional Mentawai juga sudah mulai punah. Seiring dengan perkembangan jaman, masyarakat Mentawai berubah menjadi masyarakat yang konsumtif, hal ini berkaitan dengan pengembangan Mentawai sebagai daerah wisata. Setiap turis yang ingin mengabadikan mereka dalam bentuk foto, penyelenggaraan ritual, mesti membayar.




BAB III
BUDAYA MENTAWAI

A. Adat Istiadat Mentawai
Orang Mentawai mempunyai puncak kebudayaan, berisi 10 ajaran, yaitu :
1.                  orang Mentawai percaya kepada Kekuasaan Tunggal yang menciptakanlangit dan bumi. Ini dikenal dengan Taikamanua. Mereka telah mengenal Maha Esa.
2.                  Adil. Orang Mentawai kalau membagi sesuatu harus sama banyak. Tidak berat sebelah.
3.                  Kebersamaan. Orang Mentawai lebih mengutamakan persatuan dan persaudaraan.
4.                  Tidak boleh berzina. Perkawinan bagi mereka merupakan hal yang sakral. Kalau ada yang melanggar dihukum oleh adat. Dahulu hukumannya ada yang dibunuh.
5.                  Tidak boleh masuk rumah kalau di dalamnya hanya ada perempuan saja.
6.                  Kalau berjalan bersama-sama maka laki - laki harus di depan.
7.                  Orang Mentawai jujur dan lugu. Kalau kita menjanjikan akan memberikan rokok Gudang Garam kepada penduduk, ternyata kita memberikan mereka hanya rokok Djisamsoe. Rokok Djisamsoe tetap mereka terima tetapi rokok Gudang Garam tetap mereka tanyakan dan minta.
8.                  Berat sepikul ringan sejinjing. Semua pekerjaan mereka lakukan bergotong royong.
9.                  Tidak mau mengambil hak orang lain. Dan
10.              Menghormati tamu.

Adapun adat istiadat yang masih di lakukan di suku Mentawai antara lain :
a.      Ketrikatan suku mentawai dengan hutan
Dalam kepercayaan masyarakat mentawai, merusak hutan sama saja merusak kehidupan,  dan aturan itu ada dalam kehidupan adat istiadat mereka yang dikenal dengan kearifan lokal. Di masa lalu masyarakat Mentawai juga mengenal panaki, suatu upacara untuk membuka hutan menjadi ladang. Dengan guntingan kain kecil-kecil yang disangkutkan pada satu tiang kayu, mereka yang membuka hutan meminta izin kepada penguasa hutan agar penguasa itu tidak terkejut. Tanpa panaki, pembukaan hutan menjadi ladang tidak mungkin dilakukan.
Mungkin hal ini akan jadi naif jika disandingkan dengan ajaran agama yang ada saat ini, namun di Mentawai tidaklah demikian karena walau pun telah menganut agama formal, ritual meminta izin (Panaki) kepada leluhur kalau akan melakukan aktivitas di hutan tetap dilakukan.
Masyarakat tradisional Mentawai percaya bahwa hutan merupakan kepercayaan tradisional yang diyakini sebagai tempat roh-roh leluhur yang turut menjaga segala jenis tumbuh-tumbuhan obat yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup manusia, kepercayaan tersebut dikenal dengan Arat Sabulungan. . Alam sangat dihormati karena mereka percaya semua benda yang hidup ada pemiliknya. Tentu saja pemilik akan marah jika yang dimilikinya dirusak. Kepercayaan itu mengajarkan manusia untuk memperlakukan alam, tumbuh-tumbuhan, air, dan binatang seperti dirinya.
Daun bagi suku Mentawai dianggap memiliki kekuatan magis untuk menyembuhkan dan menghidupkan. Daun selalu ada dalam upacara-upacara suku Mentawai. Masyarakat Mentawai pun dikenal dengan kemampuan mereka yang menakjubkan, yakni menyembuhkan orang sakit dengan menggunakan daun-daunan liar yang tumbuh di hutan. Daun juga dipercaya mampu menghubungkan manusia dengan penguasa jagat raya yang disebut Ulau Manua. Oleh karena itu setiap mengambil sesuatu di dalam hutan seperti kayu buat rumah mereka selalu menanam yang baru, sehingga kelestarian hutan di Mentawai tetap terjaga.

b.      Tuddukat
Pada jaman dulunya di Mentawai, tuddukat merupakan salah satu alat komunikasi tradisional. Tuddukat ini bentuknya mirip seperti kentongan besar terbuat dari jenis kayu khusus, biasanya kayu yang dipakai yaitu Kulip atau Babaet (Nephelium sp). Pesan yang disampaikan melalui bunyi tuddukat yang dimainkan. Pemukul tuddukat disebut tetektek dari kayu Alolosit. Tuddukatterdiri dari tiga buah yang sama bentuk namun beda ukuran, ukuran besar disebut ina, yang ukuran menengah disebut sa’aleleita dan yang ukuran kecil disebut togaTuddukat ini jika dibunyikan akan menghasilkan kata sandi yang bisa diterjemahkan sehingga menjadi sebuah kalimat yang mengandung arti atau pesan. Ina mengandung bunyi atau vocal i dan u, sileleite mengandung bunyi e dan o, sementara toga mengandung bunyi a.
Pada zaman dulu, setiap uma mesti memiliki tuddukat untuk memberikan pesan bagi orang lain baik untuk pesan duka maupun pesan kegembiraan.Tuddukat juga merupakan lambang kebanggaan dan kesakralan dalam uma. “Untuk membuat tuddukat dan memasukkannya dalam uma ada pantangan dan lia yang harus dilakukan. Pantangannya seperti tidak boleh makan yang asam-asam, tidak boleh berhubungan intim.
Kini salah satu media komunikasi di Mentawai ini tak lagi bisa menjadi kebanggaan. Salah satu faktor yang membuatnya hilang ketika masuknya agama di Mentawai. Dengan masuknya agama, bunyi tuddukat semakin jarang terdengar. Ketika ada orang meninggal, yang dibunyikan untuk menyampaikan pesan hanya lonceng gereja. Kinipun, fungsi komunikasi sudah dipermudah dengan telepon selular. Jika sanak kerabat meninggal atau mengadakan pesta dan menyembelih babi, cukup mengirim pesan pendek melalui ponsel.Tuddukat yang memegang peran penting sebagai alat komunikasi di Mentawai zaman dulu kini semakin sayup terdengar.

c.       Otcai (jatah)
Sebuah tradisi pembagian jatah makanan secara rata kepada tiap kepala suku di Uma pada suku Mentawai. Pembagian otcai biasanya dilakukan pada pesta-pesta yang dilakukan di uma, baik itu perkawinan atau acara ritual lainnya. Pembagian otcai dalam pesta di Mentawai seperti pesta perkawinan biasanya diberikan pada waktu mengambil kayu api untuk keperluan pesta, saat akan memberi makan untuk pengantin dan menutup pesta ketika anggota suku akan membubarkan diri.
Jika saat pesta semua anggota suku berkumpul, jumlah otcai yang dibagi bisa mencapai ratusan tumpuk. Pembagian jumlah otcaibiasanya dihitung dari jumlah kepala keluarga dan anak muda. “Keluarga yang tidak datang karena ada halangan atau ada di luar Mentawai juga ikut dihitung untuk diberikan otcai. Jika dilihat sepintas, kegiatan membagi otcai terkesan biasa dan gampang dilaksanakan, hanya menghitung jumlah keluarga yang datang dan membagi tumpukan, semua beres. Namun bukan hanya sekedar itu. “Kalau hanya untuk membagi begitu saja memang mudah, namun pembagian otcai ini kan ada dagingnya, ada tulang dan ada bagian-bagian yang harus dibagi rata, nilainya itu kebersamaan. Namun tradisi sederhana yang sarat dengan nilai ini, sudah jarang dilakukan generasi muda Mentawai. Generasi sekarang menurutnya agak gengsi mengambil bagian dalam acara pembagian otcai karena adanya paradigma hal-hal seperti itu tugasnya orang tua.

d.      Pakilia
yaitu budaya menyambut keluarga baru dalam sebuah keluarga atau suku. Pakilia ini mulai dijalankan sehabis pemberkatan pernikahan digereja yang biasanya hanya untuk agama Katolik saja. Sepulang dari gereja, pihak sikebbukat uma dan juga sabajak dan sakamaman mulai mempersiapkan segala sesuatunya yang digunakan untuk prosesi Pakilia. Seperti ayam yang masih muda (simanosa) empat ekor, katsaila (daun roh) empat buah, gendang (kajeumak), ayam jantan satu ekor.


B. Rumah Adat Mentawi
Masyarakat Mentawai bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku tersebut. Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang disebut juga “uma” yang berada di tanah-tanah suku. Seluruh makanan, hasil hutan dan pekerjaan dibagi dalam satu uma. Uma biasanya dihuni oleh 5 hingga 7 kepala keluarga dari keturunan yang sama. Satu diantaranya anggota yang tinggal dalam sebuah rumah disebut Sikerei. Sikerei itulah yang oleh suku Mentawai dianggap sebagai tetua. Uma menjadi pusat kehidupan bagi suku Mentawai. Di dalam Uma itulah, suku Mentawai tinggal, menyelenggarakan pertemuan dan melaksanakan berbagai macam acara adat, seperti penikahan. Uma juga menjadi tempat untuk menyembuhkan anggota keluarga jika ada yang sakit. Uma adalah rumah besar yang berfungsi sebagai balai pertemuan semua kerabat dan upacara-upacara bersama bagi semua anggotanya. Uma terbuat dari kayu kokoh dan berbentuk rumah panggung yang dibawahnya digunakan sebagai tempat pemeliharaan ternak seperti babi.
Secara umum konstruksi uma ini dibangun tanpa menggunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu serta sistem sambungan silang bertakik. Bangunan uma menyerupai atap tenda memanjang yang dibangun diatas tiang-tiang, karena atap yang terbuat dari rumbia yang menaungi menjulur ke bawah sampai hampir mencapai lantai rumah. Pohon sagu atau rumbia merupakan bahan penutup atap dari daun daun pohon rumbia yang banyak tumbuh di rawa atau di pantai. Kelebihan menggunakan atap rumbia yaitu terlihat alami, menimbulkan suasana baru, ringan dan relatif murah. Sedangkan kekurangannya ialah daya tahan maksimal 4 tahun, sulit melakukan upaya perbaikan atau pergantian, dan rawan bocor bila terjadi hujan lebat. Kerangka bangunan, terdiri dari lima perangkat konstruksi dari tonggak-tonggak, balok-balok, dan tiang-tiang penopang atap.
Kerangka bangunan ini dibangun berjejer melintang ke belakang dan saling berhubungan dengan balok memanjang. Kekuatan struktur Uma dihasilkan oleh teknik ikat, tusuk dan sambung sedemikian rupa. Bahan Uma diambil dari alam sekitar dan dipilih yang bermutu baik. Luas rumah persatuan kepala keluarga dengan rata-rata panjang : 31 m, lebar : 10 m, dan tinggi = 7 m. Pembagian ruangannya cukup sederhana, di bagian depan adalah serambi terbuka yang merupakan tempat untuk menerima tamu. Sedang pada bagian dalam digunakan untuk ruang tidur keluarga. Di ruangan ini terdapat pula perapian yang digunakan untuk memasak suatu keadaan yang wajar mengingat kegiatan siang hari bagi laki-laki dihabiskan di ladang atau di hutan, sementara istrinya bertugas di kebun halaman dan memasak.
Bangunan uma ini terdiri atas dua bagian ruangan besar. Di depan ada beranda yang luas tanpa dinding yang berfungsi untuk ruang tamu dan ruang keluarga berkumpul dan bercakap-cakap pada malam hari. Di belakangnya, ruangan yang berdinding menjadi ruang tidur dan dapur, tanpa sekat. Sisi depan rumah ditutup dengan dinding atap rumbia yang terbentang kebawah sampai batas 1 m (ditengah (tempat masuk) 1,5 m) dari lantai. Rumbia atau disebut juga (pohon) sagu adalah nama sejenis palma penghasil pati sagu. Dinding sebelah dalam diatas tempat masuk diperkokoh dengan selembar papan yang dihiasi gambar (tagga) atau ukiran, sedangkan ruangan dibawahnya dan sisi kanan dan kirinya tidak berdinding, yang disebut serambi depan.


C. Kesenian Mentawai
a.   Nyanyian
Masyarakat Mentawai memiliki suatu bentuk nyanyian atau seni berolah vokal yang disebut sebagai urai. Urai dibedakan atas nyanyian ritual seperti Urai Simaggere (nyanyian jiwa) serta Urai Ukkui (nyanyian leluhur) dan nyanyian non ritual seperti Urai Goatbaga (nyanyian sedih) serta Urai Paoba (nyanyian cinta). Secara umum masyarakat Mentawai lebih mengutamakan syair dalam urai, sehingga hanya ada satu urai yaitu Urai Popoet yang diiringi alat musik sebagai satu kesatuan. Sedang urai yang lain, sekalipun dilagukan dengan musik sambil menari, tetapi alat musik atau ‘gajeuma’ bukan menjadi bagian dari urai melainkan bagian dari tari atau ‘muturuk’. Jumlah urai ritual di Mentawai jauh lebih banyak dari urai non ritual karena semua mantra dari Sikerei berbentuk urai. Misal mantra untuk pengobatan yang disebut ‘mulaggek’ atau ‘pabetei’, mantra untuk memanggil roh atau ’simaggere’, dan mantra untuk memuji roh leluhur atau ‘ukkui’.

Urai ritual milik para Sikerei itu merupakan suatu mantra yang diwariskan secara turun-temurun sehingga syairnya bersifat tetap. Urai ritual itu biasanya diwariskan secara resmi oleh para Sikerei Siburuk atau para guru Sikerei kepada Sipukerei Sibau atau calon Sikerei pada upacara Mukerei yang bertujuan untuk melantik para Sikerei muda. Karena masyarakat mentawai menganggap bahwa urai ritual besifat mistis maka tidak semua orang mampu menjadi Sikerei, tetapi hanya orang-orang tertentu yang memiliki bakat, keturunan Sikerei, atau mampu berkomunikasi dengan makhluk gaib. Sementara itu syair pada urai non ritual tidak selalu persis sama, biasanya hanya tema saja yang sama tetapi syairnya dapat berbeda tergantung dari siapa yang membawakan, misal pada lagu-lagu yang bertemakan cinta kasih.


b.   Tarian
Turuk (tarian) laggai merupakan gambaran dari kehidupan alam yang diamati secara yang diamati secara seksama dan dipelajari secara turun-temurun. Turuk laggai pada dasarnya adalah meniru dari tingkah laku hewan yang sering dijumpai di alam tempat mereka tinggal. Biasanya tingkah laku binatang tersebut diperhatikan pada saat mereka pergi berburu dan mengerjakan tinungglu atau ladang. Setelah pengamatan yang seksama dan berlangsung lama, maka hasil pengamatan itu dituangkan ke dalam bentuk tarian (turuk) dalam berbagai bentuk gerak atau uliat yang ditampilkan sebagai hiburan di berbagai pesta adat di Mentawai. Kedekatan dengan alam inilah yang mempengaruhi semua tingkah laku orang Mentawai, termasuk ke dalam seni tari. Sehingga di berbagai tempat di Mentawai gerakan turuk hampir sama, karena meski berbeda tempat hewan yang diamati hampir sama perilakunya.

Gerakan turuk juga menyimpan nilai luhur yang penting dalam kehidupan di Mentawai. Seperti turuk uliat kemut mengambarkan cinta kasih, turuk laggai uliat burung elang dan monyet (bilou) menggambarkan perdamaian antar suku. Nilai-nilai itu telah diserap dalam kehidupan di Mentawai. Turuk laggai selain sebagai hiburan pada saat pesta ada t juga sebagai hiburan jiwa atau sikmagere. Pada saat ritual pemanggilan jiwa para anggota uma dilakukan, turuk laggai juga ditam-pilkan. Fungsinya agar jiwa yang telah dipanggil tidak menjauh dari badan si pemiliknya. Lebih jauh turuk laggai ada karena adanya alam. Tanpa alam turuk lagai tidak pernah ada. Karena turuk diambil dari alam dengan melihat tingkah laku makhluk hidup yang berada di alam.


D. Tato Mentawai
Orang Mentawai sudah menato badan sejak kedatangan mereka ke pantai barat Sumatera. Bangsa Proto Melayu ini datang dari daratan Asia (Indocina), pada Zaman Logam, 1500 SM-500 SM. Tato khas mentawai adalah salah satu bagian dari ekspresi seni dan perlambang dari status orang dari Suku Mentawai. Dulu, tato populer di kalangan baik lelaki maupun perempuan Mentawai yang telah dewasa. Kini, hanya sebagian kecil suku Mentawai yang masih bertato. Sebagian dari mereka bisa ditemui di pedalaman Pulau Siberut. Tato dibuat oleh seorang sipatiti (pembuat tato). Proses pembuatan tato memakan waktu yang lama, terutama pada tahap persiapannya yang bisa sampai berbulan-bulan.

Ada sejumlah upacara dan pantangan (punen) yang harus dilewati oleh orang yang ingin ditato. Tak semua orang sanggup melewati tahap ini. Sebelum sipatiti mulai membuat tato, ada ritual upacara yang dipimpin oleh sikerei (dukun budaya Mentawai). Tuan rumah lalu mengadakan pesta dengan menyembelih babi dan ayam. Daging babi dan ayam ini juga sebagai upah yang diberikan untuk sikerei. Untuk menyelenggarakan pesta membuat tato ini saja bisa menghabiskan biaya sekitar lima juta rupiah.Jarum yang digunakan terbuat dari tulang hewan atau kayu karai yang diruncingkan. Dengan mengetok-ngetoknya, terciptalah garis-garis yang merupakan motif utama tato suku Mentawai. Pewarna yang digunakan berasal dari arang yang menempel di kuali. biasanya pembuatan tato dimulai dari telapak tangan, tangan, kaki lalu tubuh. Selama beberapa hari, kulit yang baru ditato akan bengkak dan mengeluarkan darah.
Bagi masyarakat Mentawai, tato juga memiliki fungsi sebagai simbol keseimbangan alam. Dalam masyarakat itu, benda-benda seperti batu, hewan dan tumbuhan harus diabadikan di atas tubuh. Mereka menganggap semua benda memiliki jiwa. Fungsi tato yang lain adalah keindahan. Masyarakat Mentawai juga bebas menato tubuh sesuai dengan kreativitasnya.



Terimakasih Anda telah membaca tulisan / artikel di atas yang berjudul : Kebudayaan Kepulauan Mentawai jangan lupa komen dan berbagi :)

1 komentar :